Jayabaya tentang tradisi “Selametan” orang Jawa

Jayabaya tentang tradisi “Selametan” orang Jawa
mbah subowo.
Tradisi selametan di Jawa berabad-abad hingga pada 1970-an berlangsung sederhana, singkat, dan padat. Sesuai fungsi utamanya, selametan bagi penduduk pedalaman Pulau Jawa bagian Timur dan Tengah adalah bermakna menyatukan persepsi atau anggapan lingkungan terhadap suatu fakta atau kejadian dalam kehidupan wajar dalam masyarakat. Bisa itu kejadian kelahiran, kematian, pesta perkawinan, dan sebagainya. Intinya sebelum melaksanakan suatu hajatan, maka diadakanlah “selametan” sebagai pemberitahuan lingkungan sekitarnya. Di samping itu juga sekaligus mengharapkan bantuan agar acara yang bakal digelar bisa selamat dan sukses.
     Dalam upacara sederhana selamatan selalu terdapat acara “doa bersama”, pada era tujuhpuluan di pelosok Jawa bagian Tengah dan Timur pengucapan/pembacaan doa bersama akan dipimpin oleh para tetua di lingkungan masing-masing. Kronologinya berikut ini: tatkala para undangan selamatan sudah lengkap, mereka duduk mengepung puluhan kotak-kotak terbuat dari daun pisang yang berisi makanan lengkap dengan lauk-pauknya.
     Tetua yang ditunjuk tuan rumah akan “mengujubkan” biasanya dalam Jawa, dan para hadirin akan memberi sahutan koor bersama “nggih”. Upacara itu hanya singkat saja tidak sampai lima belas menit selesai.
     Begitulah gambaran selamatan pada 1970-an di salah satu pojok di pedalaman pulau Jawa. Saat ini (2020) pembacaan doa di bagian Timur dan Tengah Pulau Jawa terdiri dari dwibahasa: Jawa, dan Arab. Lain lagi yang terjadi di pojok paling Barat dari Pulau Jawa, upacara selamatan di wilayah Barat Pulau Jawa hari ini bisa berlangsung hampir satu jam. Tatacara selamatan di Barat Pulau Jawa maupun Tengah dan Timur Pulau Jawa sama saja, demikian pula tujuan diadakannya selametan, yang membedakan hanya lamanya kegiatan tersebut dilangsungkan.
     Berikut ini sekadar referensi yang relevan dengan berdoa dalam upacara selamatan serta prediksinya yang akan terjadi di masa modern oleh ahli nujum termasyhur se-Jawadwipa dan Nusa-Antara.

Akeh wong mendem donga (Jayabaya, 1100-an)

     Kelak di masa di depan di jaman yang penuh dengan kemajuan (jaman modern) banyak orang Jawa yang terus melestarikan tradisi selamatan yang dilakukan sewajarnya, namun kadangkala sebagian mereka menjadi mabuk donga karena terlalu bersemangat dalam kegiatan yang “lainnya”.
     Sekian untuk sekali ini.

*****



Subowo bin Sukaris
HASTA MITRA Updated at: 11:01 AM