Jayabaya tentang
kejahatan merajalela di Jawa/Nusantara
mbah subowo
Legenda maling sakti
yang dikenal penduduk seantero Kediri sebenarnya kenyataan sejarah pada masa
penjajahan kolonialisme Belanda. Konon saking saktinya maling tersebut yang
memiliki ajian “rawe-rawe rantas malang-malang putung”.
Belanda melalui
kaki-tangannya terpaksa mengubur si
maling sakti dengan cara memisahkan jasad bagian kepala dan tubuh si Maling
Sakti di tempat yang berjauhan. Agar kedua potongan jasad manusia sakti tersebut
agar tidak bisa menyatu lagi dan selanjutnya bangkit hidup kembali lagi.
Jauh di masa silam
pada abad ketigabelas masehi (1200-an) tersebutlah sebuah nama legendaris tokoh
maling sakti juga: Angrok atau Arok, konon seorang yang memiliki pendidikan
tinggi, murid paling cerdas pada padepokan Syiwa-Buddha daripada Begawan
Dahyang Lohgawe.
Arok menguasai
Sansakerta dengan baik, bahkan hafal Weda dalam kepalanya. Jauh sebelum itu ia pernah berguru pada pendeta Buddha, Tantripada yang
mengajarkan sejenis hipnotisme guna dapat menundukkan siapapun baik teman
maupun musuh-musuhnya.
Arok menurut legenda
memiliki sepasukan kawanan yang sangat setia padanya. Kelompok Arok lebih tepat
disebut begal, karena pola kejahatannya menghadang para pelintas hutan yang terpaksa
menempuh satu-satunya rute ke Kotaraja melewati tengah hutan lebat membawa
barang berharga milik Pekuwuan Tumapel.
Arok selalu tahu
sasaran yang tepat, karena ia hanya mau mengambil barang-barang milik penguasa
Tunggul Ametung. Dan hasil jarahannya tidak dipergunakan untuk kepentingan
pribadi Arok. Akan tetapi ditimbunnya di tengah hutan, agar kelak dapat
dijadikan modal untuk keperluan menyerang kekuasaan Tunggul Ametung.
Setelah merampas
barang bawaan para pelintas selanjutnya Arok memerintahkan anak buahnya agar melepaskan
semua orang tanpa kecuali agar dapat terus melanjutkan perjalanan menuju ke
Kotaraja.
Sri Aji Jayabaya
yang hidup seabad sebelum masa kisah Arok, telah memprediksi bahwa kejahatan
semakin lama bertambah merajalela, berikut bait syairnya mengenai hal di atas
ini.
Maling wani nantang
sing duwe omah (Jayabaya, 1100-an)
Kelak di masa
wolak-walik ing jaman kejahatan semakin bertambah merajalela. Sehingga tidak
mengherankan di jaman modern serba terbalik itu para penjahat (maling) dengan
pedenya berani menantang tuan rumah tempat ia sedang melakukan kejahatan
(pencurian).
Sekian untuk sekali
ini.