Ini Dia Calon Presiden 2014

Ini Dia Calon Presiden 2014

Berikut ini dua tulisan dibuat pada 1998-1999 yang masih relevan dalam menilai sosok-sosok yang bakal tampil menjadi petarung pada Pilpres 2014,

 _____________

Menilai Megawati Secara Tepat
Oleh : Bung JI 
1999
Mestinya dia menghadiri undangan ke Pekan Buku Internasional di Frankfurt, tetapi karena kesehatannya terganggu kunjungan itu batal. Bung JI – ex-wartawan, ex-tapol, kini editor dan penerbit karya-karya Pramoedya Ananta Toer –  sangat sesalkan pembatalan itu, tetapi di lain pihak dia gembira bisa mengikuti jalannya pemilihan Presiden baru yang berlangsung lewat MPR. Di bawah ini hasil obrolan dengan bekas wartawan itu yang masih tetap mengikuiti perkembangan politik yang sedang berjalan sekarang ini di tanah air.

Bagaimana pendapat anda apakah Megawati bakal jadi Presiden?
Jawab : Untuk para pendukung dan juga untuk Megawati sendiri saya ikut gembira kalau dia terpilih menjadi Presiden menggantikan Habibie. Peluang bagi Mega masih tetap terbuka, akan tetapi banyak kesempatan baik telah disia-siakan. Dia sendiri pun ikut aktif menyumbat kesempatan baik itu.

Apa maksud anda?
Jawab : Saya melihat dua faktor yang ingin saya sebut sebagai kesalahan fatal Megawati. Pertama, Megawati bukan mendekat tetapi malah menjauh dari semangat Bung Karno. Saya sengaja menggunakan kata ”semangat” bukan “ajaran”, karena ajaran  Bung Karno – saya sebut satu saja: sosialisme Indoinesia – tak mungkin dia ikuti apalagi menerapkannya. Untuk itu dia sadar atau tidak sadar terkontaminasi oleh establishment Orde Baru Suharto, walaupun Suharto sendiri kemudian mengkhianatinya. Faktor menjauh dari semangat Bung Karno in concreto adalah tapol-phobie dan kiri-phobie atau pakai istilah BK sendiri “progresif revolusioner” phobie. Phobie-phobie itu adalah justru yang dilawan oleh Bung Karno.
     Faktor penghambat kedua, Megawati sebenarnya menjauh dari massa pendukungnya sendiri. Hal ini adalah pengejawantahan dari sikap feodalnya yang mencuat dalam sikap arogan. Arogansi sosial, arogansi perilaku sehari-hari, arogansi politik, arogansi bertengger di menara gading, taking everything for granted. Semuanya beres, semua akan terjadi sebagaimana dia ingini.

Bagaimana pendapat anda tentang suatu kelompok Islam yang menentang Megawati karena keislamannya dianggap meragukan atau mau membangun negara sekuler?
Jawab : Anggapan atau tuduhan seperti itu saya anggap kosong. Orang-orang yang menuduh seperti itu sadar atau tak sadar sudah nenempatkan diri di samping Tuhan, bahkan lancang menggunakan hak-hak Tuhan dalam menilai keimanan seseorang. Bagaimana dengan diri sendiri? Sudah jujurkah para penuduh itu dalam penerapan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan keamalan terhadap sesama manusia?

*****


Menilai Jendral W Secara Tepat
Oleh : Ali Daeng Makasar
1998
Siapa jendral W? Bagaimana menilai dan menyikapinya?
Apa beda atau kesamaannya dengan jendral P misalnya? Semua itu  merupakan pertanyaan kunci untuk dapat mengambil sikap politik yang tepat dalam kemelut politik yang sedang kita hadapi sekarang.

Mencoba mendapatkan jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan itu juga penting, karena sudah cukup lama beredar pendapat dalam masyarakat bahwa “kita tidak bisa mengabaikan faktor ABRI”, “ABRI adalah organisasi paling rapi dan berpendidikan”, “ABRI adalah wahana kemajuan dan pertumbuhan”, bahkan pernah ada pendapat bahwa “presiden tidak bisa tidak masih tetap harus dari ABRI”.
Bila kata-kata itu diucapkan oleh alm. jendral Sumitro atau jendral Rudini yang mendadak menjadi politikus setelah memegang posisi “pembina politik” sebagai Menteri Dalam Negeri, tidaklah perlu terlalu diherankan.
Semua itu omong kosong! Pendapat-pendapat seperti itu adalah apa yang dinamakan “reïfikasi”, yaitu : abstraksi-abstraksi, rekayasa atau kotak-katik otak, yang oleh masyarakat dianggap dan diterima sebagai kenyataan kongkret. Karena reïfikasi-reïfikasi itu merupakan produk kerja penguasa; sudah berjalan lama sekali dan memang dihidup-hidupkan terus, maka masyarakat sudah tak sadar lagi bahwa semua “kenyataan” itu sebenarnya serba semu, bikin-bikinan atau artifisial. Kelanjutan dari cara berpikir seperti itu melahirkan apa yang dinamakan “self-fulfilling profecy”. Barang yang asalnya semu lama-kelamaan mendapatkan isi kekuatan dan akhirnya seakan menjadi kenyataan. Itulah yang terjadi dengan ABRI. Orang-orang militer ini tentu memanfaatkan optimal anggapan masyarakat seperti itu untuk mengkonsolidasi dan memantapkan hegemoninya dalam arena politik terhadap masyarakat sipil. Dengan posisi elitis itu mereka telah ikut mencicipi betapa nikmatnya berkuasa, karena itu kenikmatan itu tak akan gampang dilepaskan dengan sukarela kalau tidak terpaksa. Masyarakat sendiri sadar atau tak sadar telah ikut mengukuhkan posisi elitis dan hegemoni ABRI  itu, sehingga organisasi bersenjata itu menjadi sangat berkuasa seperti  sekarang ini. Tetapi hegemoni militer atas sipil yang tidak sehat itu itu bukannya tidak bisa dibongkar oleh kekuatan massa – bulan Mei yang lalu  hal ini dibuktikan oleh para pemuda dan mahasiswa. Memang betul hegemoni ABRI setelah kebangkitan Mei belum tumbang, akan tetapi mereka sudah terpaksa mengako­modasi diri dan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan situasi baru yang menolak hegemoni itu.

Kembali kepada W. Di sini kita angkat figur P menjadi pembanding sekedar untuk mencapai pandangan dan penilaian tajam dan lebih akurat terhadap W.

Kita mulai dengan P – dia intellegent, cerdas, berani, berpendidikan Barat seperti bapaknya Prof Dr. Sumitro. Karena beralam pikiran Barat, dia bersikap langsung dan terbuka, tidak ada padanya kemunafikan feodal Jawa. Ambisinya bukan saja meraih kepemimpinan ABRI akan tetapi ingin menjadi presiden. Mengapa tidak? Mertuanya, Soeharto, yang tak berpendidikan saja bisa jadi presiden, mengapa dia tidak bisa, bukan? Itu adalah ambisi yang sah-sah saja dan menjadi hak P sepenuhnya.
Tetapi segi-segi postif itu melèncèng menjadi negatif, karena dia menempuh cara-cara “preman” à la mafia. Untuk mencapai angan-angannya, dia menggalang komplotan kekuatan lewat unit-unit dan unsur-unsur tertentu dari dalam ABRI, dan mencoba menarik suatu kelompok sosial masyarakat, yaitu unsur-unsur Islam yang dapat dibelinya berkat akses dana yang sangat besar. Walau pun berpendidikan cukup yang seyogianya membuat dia bersikap matang dan lugas, emosi P tak terkendali dengan segala konsekwensi yang merugikan dirinya sendiri, seperti : avonturisme ugal-ugalan, berani beringasan tak karuan, tidak broadminded sehingga membuat perhitungan-perhitungan politiknya serba keliru.

Kembali pada pokok persoalan : siapa dan bagaimana menilai W?
Dia pun berpendidikan tinggi dan cerdas, tetapi dia tetap menonjol sebagai orang Jawa dalam arti : tidak terbuka, tidak langsung berterus-terang, padanya melekat kemunafikan feodal Jawa. Apa yang dia ucapkan harus diterima dengan sikap bercadang, karena apa yang keluar dari mulutnya bisa ditafsirkan ke segala jurusan. W maupun P mempunyai keterkaitan pribadi dengan Suharto. Yang pertama oleh jabatannya sebagai bekas ajudan Suharto, yang kedua karena perkawinan dengan anak Suharto. W sebagai orang Jawa dan orang timur membikin keterkaitannya dengan Suharto menjadi lebih akrab dan lebih emosional  – dia merasa berhutang-budi oleh katrol-katrolan Suharto yang mempercepat jenjang kariernya sampai ke pucuk pimpinan ABRI. Hutang budi ini tak pernah akan dia lupakan dan ini bisa mempunyai segi negatif dalam kariernya sendiri, karena sikap seperti itu bisa sekali menyelèwèng ke suatu loyalitas pribadi, sama sekali tidak lugas dan relevan lagi dalam fungsinya sebagai seorang perwira tinggi, apalagi sebagai panglima angkatan bersenjata.
Terbetik kabar bahwa sekitar 20 Mei yang lalu W ikut mengusulkan supaya Suharto melepaskan kepresidenannya. Hal ini dia lakukan atas perhitungan pragmatis justru untuk menyelamatkan Suharto dan keluarga – jadi bukan sebagaimana dituntut oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR.
   Beberapa menit setelah Suharto mengundurkan diri, langsung sudah kita mendengar “deal” yang telah dia bikin dengan Suharto. Tegas dia kemukakan : ABRI (atau W pribadi?) akan tetap menghormati dan melindungi Suharto dan keluarga. Apakah seluruh jajaran ABRI akan dia sèrèt untuk ikut memikul hutang-budi pribadi W kepada pribadi Suharto?

Seperti sudah disinggung di atas, bagi P prioritas paling utama yang dia kejar adalah jabatan pucuk pimpinan ABRI kemudian menjadi presiden -– dengan sendirinya dia juga mengingini posisi hegemonis ABRI di dalam politik tetap berlaku, akan tetapi hal itu bukan prioritas yang eksplisit menonjol dari P. Sebaliknya W bukan menolak kesempatan menjadi presiden, akan tetapi prioritas utamanya adalah mempertahankan posisi hegemoni militer di atas sipil! Ini berarti tetap mempertahankan dwifungsi ABRI. Betul bahwa dia pun secara verbal menyetujui reformasi, akan tetapi jelas dalam kandungan arti lain sama sekali dengan apa yang diperjuangkan rakyat dan mahasiswa. Hanya konsesi penyesuaian-penyesuaian tertentu yang bersedia dia lakukan, sifatnya bakal tidak mendasar dan tidak substantif. Mungkin saja varian-varian tertentu dalam pelaksanaan Dwifungsi ABRI akan muncul, akan tetapi varian-varian baru itu tidak akan mengusik essensi dan substansi hegemoni militer di atas sipil.

W dan P mempunyai kesamaan dalam satu hal, sama-sama mereka tidak memihak rakyat. Yang dimaksud di sini adalah memihak dalam kebijaksanaan dan terutama dalam perbuatan. Bila hanya dalam ucapan saja, keduanya nyaring mengatakan berpihak pada rakyat. Bukankah selama rejim Orde Baru Suharto, rakyat merasa selalu harus berhadapan dengan ABRI termasuk Kepolisian? Misalnya dalam berbagai masalah perizinan rapat, berkreasi dan mementas, kebebasan pers, apalagi ekspresi menyatakan pendapat yang agak vokal sepereti demo, dsb. Terlalu sering kita alami sikap over-acting petugas ABRI dan Polisi berhadap-hadapan bahkan memusuhi berbagai inisiatif rakyat, di tempat-tempat tertentu malah sampai jatuh korban.

Dari sudut pandang perjuangan reformasi yang mendasar dan menyeluruh, W jauh lebih berat untuk dihadapi daripada P yang tidak menguasai pasukan lagi. Akan tetapi kita jangan sampai menilai tokoh-tokoh ABRI dalam suatu “moment opname” saja apalagi secara à priori, tetapi kita perlu lihat mereka dalam proses perkembangannya, apakah mereka akan berubah ke arah yang benar atau malah ke arah yang keliru. Sikap terbuka seperti itu berlaku juga bagi tokoh-tokoh seperti Amin Rais, Megawati, Gus Dur, Emil Salim dan lain-lain. Kita akan menilai mereka dari ucapan maupun perbuatan mereka apakah sungguh-sungguh memihak rakyat dan mampu selalu bersama rakyat. Rakyat sudah cukup kritis untuk menilai mana yang murni, sejati, genuine, dan mana yang kosmetis, semu dan artifisial. Zaman rekayasa-rekayasa politik sudah lewat!

Khusus bagi W, sebagai Menhankam dan Pangab yang dalam hal-hal tertentu lebih berkuasa daripada presiden, kita mempunyai kriteria rinci untuk menilai perbuatannya secara akurat dan obyektif sbb:

1. Masihkah dia akan pertahankan posisi elitis dan hegemonis ABRI dalam era  reformasi yang sedang dituntut rakyat sekarang ini? Yaitu seperti di masa lalu, tetap mau mengangkani  jabatan-jabatan Gubernur, Bupati, Camat dan berbagai jabatan kunci lain di dalam   birokrasi?
2. Berubah atau masih tetapkah sikap W untuk menjadikan ABRI tulang punggung Golkar, ormas yang paling bertanggung-jawab dalam  berbagai rekayasa politik selama rejim Orde Baru Suharto? Betulkah ABRI akan berdiri di atas semua golongan, dan memelihara jarak sama terhadap semua kekuatan sosial politik masyarakat?
3. Sanggupkah dia melakukan koreksi terhadap perwira-perwira tinggi yang melakukan kesalahan serius di masa lampau. Dalam hal ini secara khusus  harus disebut manuver-manuver politik merekayasa penggusuran Megawati Soekarnoputri dari pentas politik dan penyerbuan terhadap Kantor PDI  27 Juli 1996 di Jakarta? Butir ini tidak ada kaitan sama sekali dengan usaha membela Megawati, akan tetapi sangat prinsipil dari segi tata-krama kehidupan politik demokratis dalam Republik kita, dan mencegah terulangnya 
     kehidupan politik dikotori manuver-manuver kriminal licik dan keji dengan meng­gunakan alat negara.
4. Seriuskah Pangab W secara tuntas mau dan sanggup membongkar dalang dan oknum-oknum pelaksana yang terlibat dalam penculikan-penculikan para aktivis; penembakan maut terhadap mahasiswa-mahasiswa Trisakti dan dalang organisasi penjarahan milik suku Tionghoa pada tanggal 13-15 Mei yang lalu di Jakarta, Solo, Bandung dan tempat-tempat lain di Indonesia?
5. Sanggupkah W melepaskan diri secara pribadi terhadap pribadi Suharto dan keluarganya dan tidak menyèrèt-nyèrèt seluruh hierarki ABRI untuk tetap memberikan privilese-privilese khusus kepada bekas bossnya yang telah berjasa besar kepadanya?
     Kenyataannya sekarang memberikan cukup indikasi untuk mengusut kolusi keluarga Suharto yang terbukti ibarat oktopus melilit seluruh tubuh perekonomian Indonesia yang menjadi morat-marit sekarang ini. 
     Apakah W akan memberikan kesempatan hukum berfungsi sebagaimana mestinya ataukah sebaliknya dengan satu dan cara lain akan menghambat proses penegakan hukum itu? Kita hormati azas pra-duga tak bersalah dan kita harapkan azas itu berlaku bagi semua warganegara tanpa kecuali.

Cukuplah lima butir itu untuk menguji keseriusan ucapan-ucapan W yang menegaskan bahwa dia dan ABRI menyetujui reformasi total –- perbedaan-perbedaan metode pencapaian boleh-boleh saja terjadi, akan tetapi lima butir di atas adalah pra-syarat dari segala syarat untuk membuktikan dia sungguh-sungguh menyetujui reformasi total, cara dan konsep apa pun yang mau dia tempuh. (Pada prinsipnya kriteria di atas berlaku juga bagi B.J. Habibie yang pengangkatannya sebagai presiden sangat diragukan keabsahannya, terlebih-lebih dia menjadi “kader” kebanggaan Suharto yang paling setia).

Kalau dalam uraian di atas kita secara khusus menyebut nama W dan P, maka itu hanyalah sebagai sampel ketokohan ABRI. Siapa pun tokoh  ABRI yang muncul, kriteria itu tetap berlaku bagi mereka. W, P atau siapa pun -– termasuk Amin Rais, Megawati, Gus Dur, Emil Salim dan lain-lain –- akan kita sambut dengan gembira dan tangan terbuka bila mampu secara positif mewujudkan kriteria di atas. Yang mampu itulah akan memenuhi syarat menjadi pemimpin Indonesia masa depan dalam era baru masyarakat madani yang demokratis, yang menghormati hak-hak azasi manusia dan menjunjung tinggi
martabat manusia.
Jakarta, 29 Juni 1998
*********

Subowo bin Sukaris
HASTA MITRA Updated at: 10:41 AM