Tragedi 1965 "Pandangan Jernih dan Mata Buta"


LIHAT KE BELAKANG DENGAN PANDANGAN JERNIH dan JANGAN MELIHAT KE DEPAN DENGAN MATA BUTA 


Pertama-tama perkenalkan saya mengucapkan terima kasih atas undangan yang disampaikan kepada saya, untuk ikut ambil bagian dalam Seminar yang semarak ini.
Undangan datang dari teman-teman di Tanah Minahasa yang alamnya cantik, dihiasi danau dan gunung-gunung hijau yang menyebarkan udara sejuk, Bunaken dengan terumbu karangnya yang masjhur di dunia, nyiur melambainya yang ditiup angin berdesir, aroma vanili dan cengkehnya yang harum, serta tanahnya yang subur membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Kata pujangga, kepulauan Nusantara yang terdiri dari 17.508 pulaunya besar dan kecil, adalah hamparan zamrud di Khatulistiwa. Tapi saya ingin mengatakan juga dengan menirukan ucapan seorang Ibu Kawanua kepada saya : Minahasa adalah penggalan sorga yang ditempatkan di bumi.
Negeri ini adalah juga negerinya Pahlawan Nasioal Perintis Kemerdekaan, Dr Sam Ratulangi, yang cita-citanya setinggi gunung Kalabat. Beliau terkenal dengan katakanya yang sering dikutip Bung Karno : “Maksud hati mencapai puncak gunung Kalabat, apa daya kaki membawa hanya sampai Air Madidi”. Tetapi Bung Karno menganjurkan kepada para pemuda supaya meraih yang lebih tinggi. Katanya : “Gantungkan cita-citamu dibintang-bintang tinggi dilangit”.
Disamping itu, saya juga ingin berbagi rasa dan pengalaman dengan teman-teman disini yang pernah senasib dengan saya, yaitu nasib malang yang menimpa kita 35 tahun yang lalu. Saya di Jawa dan saudara-saudara disini, nasib kita sama.
Topik yang diminta oleh Panitia Seminar kepada saya supaya dibahas disini, meyangkut pesan Bung karno dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966 “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, kaitannya dengan kejadian yang sudah bernilai klasik, karena sudah lewat 35 tahun : G30S, yang sampai sekarang belum juga tuntas dibahas. Aneh tapi nyata.
Menurut pendapat saya, G30S bukan kejadian yang berdiri sendiri. Ia diciptakan oleh syarat-syarat sejarah yang ada, yaitu pertentangan antara rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno yang sedang berjuang mengkonsolidasi kemerdekaan, melawan kekuatan asing, terutama Amerika dan Inggeris yang ingin mengendalikan Indonesia dengan menggunakan tenaga orang-orang Indonesia sendiri. Waktu itu kita sedang berada dalam pusaran Perang Dingin antara Blok Barat dan Timur, di mana Indonesia menjadi rebutan mereka untuk menguasai sumber alamnya yang melimpah ruah. Oleh karena itu, memisahkan peristiwa G30S dari konteks Perang dingin, adalah a-historis. Dalam pertarungan itu, Amerika dan Inggeris menang, dan Bung Karno yang mengibarkan panji Trisakti : Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan, digilas dalam liku-liku G30S yang berakibat di gulingkannya Bung Karno dan terjadinya HOLOCAUST, yaitu pemusnahan 3 juta ummat manusia, yang sampai sekarang sepertinya diterima sebagai kebenaran. Kita yang pernah ditahan, adalah sisa-sisa dari 3 juta teman-teman kita yang telah dimusnahkan, dengan sebuah dekrit pemusnahan manusia yang terbesar dalam sejarah, yang pernah dicatat. Cerita yang mengerikan ini, membuat setiap orang yang punya hati dan nurani, berdiri bulu kuduknya membayangkan tragedi yang terjadi abad peradaban modern. Angka 3 juta yang saya sebutkan diatas, adalah kesaksian yang diberikan oleh Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang disampaikan kepada salah seorang pendiri “Pakorba”, Bapak Permadi, SH, sekarang anggota MPR/ DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan yang memang sengaja mengkonfirmasikan angka korban yang bersimpang-siur Bapak Permadi SH, sendiri meragukan apakah jumlah itu tidak kebanyakan, tapi dijawab dengan tegas oleh Sarwo Dedhie : Tidak ! Memang angka 3 juta itulah yang benar. Angka ini tentu jadi menarik, karena diucapkan oleh seorang Jenderal yang dikenal sejak awal sebagai komando pembasmian G30S. Angka korban yang dipublikasikan oleh Panitia Amnesti International dan “Tapol” Indonesia Human Rights Campaign, yang dua-duanya berpusat di London, masing-masing menyebutkan angka 1 juta. Begitu juga Presiden Abdurrahman Wahid menyebut angka 1 juta itu. Ratnasari Dewi, isteri Bung Karno orang Jepang, mengumumkan angka 2 juta. Tapi rasanya bagaimana pun, 1 juta, 2 juta atau 3 juta, sama mengerikannya.
Dalam sebuah naskah fotocopy dari Dr. Subandrio setebal 150 halaman tertanggal awal September 2000, yang beredar di Jakarta, Dr. Subandrio, mantan kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), Wakil PM-I dan Menteri Luar Negeri RI, yang sebetulnya divonis mati oleh MAHMILLUB, tapi kemudian mendapat grasi dari Presiden Soeharto, membongkar siapa dalang G30S yang sebenarnya, yang tidak lain dari Soeharto sendiri. Padalah yang difahami sampai sekarang, dalang itu ialah PKI, termasuk juga Dr. Subandrio. Dr. Subandrio dalam pengungkapannya menjungkir-balikkan pemahaman itu. Skenario G30S bukan dibuat oleh PKI, melainkan oleh Soeharto, katanya. Dr. Subandrio mengatakan, kol A. Latief dan Letkol. Untung Samsuri yang memimpin G30S, adalah alatnya Soeharto, dan kedua-duanya merundingkan dengan Soeharto persiapan gerakan dan sepenuhnya didukung, bahkan Soeharto memperbantu kan 3 batalion tentara dari Diponegoro, Brawijaya dan Siliwangi dan masing-masing membawa peluru garis 1 (cukup untuk pertempuran 10 hari). Dr. Subandrio mengatakan, bahwa Soeharto adalah Jenderal Fasis yang berdarah dingin, yang mengeksploitasi G30S untuk ambisi kekuasannya.

Keterlibatan Soeharto mulai
dari prolog sampai epilognya

Rencana besar Soeharto sudah bergulir sejak awal Februari 1965, kata Subandrio. Jika keterangan Dr. subandrio benar, tentulah TAP MPERS no. : XXXIII/ 1967 yang meng­gulingkan Bung Karno dari kekuasaanya untuk digantikan oleh Jenderal Soeharto yang nota bene adalah artsitek G30S, haruslah segera dicabut dan Bung Karno direhabilitasi. Dan untuk selanjutnya, sejarah G30S perlu ditulis kembali.
Namun cukup menarik pengakuan Sekretais Jenderal PKI, Sudisman, yang diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) setelah ia ditangkap pada 6 Desember 1966, mengakui keterlibatan tokoh-tokoh PKI tertentu dalam G30S, termasuk dirinya, tapi PKI sebagai partai, katanya tidak terlibat, karena rencana itu tidak pernah dibicarakan dalam rapat CC PKI. Tokoh-tokoh PKI tertentu itu menyetujui keputusan kelompok perwira muda hendak mendahului tindakan Dewan Jenderal yang akan melancarkan coup d’etat terhadap Presiden Soekarno yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 1965. Adanya Dewan Jenderal, Kata Sudisman, diumumkan sendiri oleh Jenderal Yani pada tanggal 27 atau 28 Mei 1965 didepan rapat Panglima Angkatan Darat, dan Yani sendiri yang membentuk Notulen rapat itu perlu dicari, kata Sudisman. (Baca : “Pleidoi Sudisman, Kritik Oto Kritik”, diterbitkan Teplok Press Jakarta, November 2000). Pengakuan Sudisman itu membenarkan penilaian Bung Karno dalam Nawaksara bahwa salah satu faktor terjadinya G30S, karena keblingernya tokoh-tokoh PKI.
Bung Karno mengatakan ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya G30S :
1.  Lihainya kaum imperialis/ Nekolim
2.  Keblingernya tokoh-tokoh PKI
3.  Adanya ketidakberesan dalam tubuh kita sendiri.
Bertrand Russel, seorang pakar sejarah bangsa Inggris mengatakan, dalam 4 bulan saja pembantaian di Indonesia, orang yang tewas 5 kali lebih banyak dibandingkan korban 12 tahun perang Vietnam yang diserang oleh Amerika dengan meggunakan bom-bom napalm, roket dan bom-bom pemusnah lainnya yang menyebarkan racuk kematian, senjata sinar yang bukan saja membunuh manusia tapi semua yang hidup. Laporan lain lagi mengatakan, korban 300 tahun dijajah Belanda, 3,5 tahun masa pendudukan fasis Jepang, ditambah 4 tahun perang kemerdekaan, jumlah korban seluruhnya tidak sebanyak korban peristiwa G30S, meskipun peristiwa itu terjadi dibawah syarat-syarat keadaan damai, dimana Republik Indonesia tidak dalam keadaan berperang dengan siapapun. Saya lalu teringat kisah HOLOCAUST (pemusnahan ummat manusia) yang didahului dengan pengejaran-pengejaran dan penangkapan-penangkapan oleh Nazi Jerman menjelang Perang dunia II di Eropa, seperti diceritakan oleh seorang pendeta Jerman bernama Martin Niemoller. Pedeta ini sangat anti Hitler dan faham nasional-sosialismenya.

Niemoller bercerita sebagai berikut :


Pertama agen-agen Hitler datang mencari orang-orang komunis, saya tidak bilang apa-apa, karena saya bukan komunis. Ketika mereka datang menangkap orang-orang Yahudi, saya tidak protes, karena saya bukan Yahudi. Ketika mereka datang untuk menangkap buruh, saya tutup mulut, karena saya bukan anggota Serikat Buruh. Ketika mereka menangkap orang-orang Katolik, saya bungkem, karena saya Protestan. Akhirnya mereka datang untuk menangkap saya, ketika itu tidak seorang pun lagi yang tinggal, yang bisa berbicara membela saya, semua sudah ditangkap, tapi saya beruntung tidak dibunuh.
Holokaus atau pemusnahan manusia yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965/ 1966, cara-caranya meniru pola Hitler seperti yang diceritakan oleh Pendeta Martin Niemoller. Kejar, tangkap lalu musnahkan. Masih beruntung kita yang tidak sempat dimusnahkan, hanya dimasukkan kamp konsenterasi. Orang-orang yang tidak jelas dosanya, atau mungkin malah tidak berdosa sama sekali, dimasukkan tahanan, mencapai angka 750.000 menurut pengakuan Orde Baru, tapi yang sebenarnya lebih banyak lagi. Presiden Amerikat Serikat, Jimmy Carter, menolong kita dengan mengancam Soeharto supaya semua tahanan segera dibebaskan, karena penahanan mereka melanggar Hak-hak Asasi Manusia. Kalau tidak diindahkan, bantuan untuk Indonesia akan distop. Soeharto ketakutan dan kitapun dibebaskan, meskipun di alam bebas hak-hak asasi kita masih dirampas lagi.
Di Eropa, begitu Perang Dunia II berakhir, para pelaku yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti Himmler dan Goring, setelah diadili oleh tribunal Kejahatan Perang Internasional, semuanya dihukum mati. Tapi holokaus di Indonesia, meskipun sudah lewat 35 tahun, penanggung jawab dan pelakunya tidak di apa-apakan bahkan dinobatkan menjadi orang-orang bermartabat dan berderajat mulia. Tidak ada undang-undang yang bisa menuntut mereka. Undang-undang HAM yang baru saja disyahkan oleh DPR, masih sangat diragukan apakah mungkin undangan tersebut diberlakukan, dengan mengingat amandemen UUD 1945 pasal 28-1, yang menutup peluang diberlakukannya asas surut.
Tapi tidak baik jika tragedi ini ditangisi terus. Kisah tragedi itu memang sangat menyakitkan, dan sangat layak dituntut pertanggung jawabannya. Ya ….. perlu ada afrekening, kata orang Belanda. Tapi kalau tragedi ini terus menerus kita tangisi, hati kita sedih saja, pastilah kita tidak bisa lagi memecahkan soal-soal. Oleh karena itu, kita harus pandai mencari jalan untuk memahaminya dari segi yang masuk akal. Saya lalu teringat akan kata-kata seorang filosof India, Rabindranath Tagore, yang mengatakan : janganlah sekali-kali menghina daun-daun yang berguguran mengotori taman pohon itu tumbuh. Daun-daun yang berguguran itu, adalah daun-daun mulia yang menjadi pupuk bagi kehidupan pohon itu selanjutnya, serta generasinya.”
Mungkinkah kita menjadi pupuk bagi lahirnya Indonesia Baru yang lebih baik ?
Barangkali ada diatara kita yang belum dengar bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 14 Maret 2000, mengucapkan pernyataan bersejarah. Beliau secara terbuka minta maaf kepada keluarga para korban tahanan, atas korban besar-besaran 1965/ 1966. Bukankah ini satu perubahan pandangan resmi yang penting berkenaan dengan kasus G30S ? Bahkan Gus Dur memberikan dukungan usaha penyelidikan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok manapun. Pembantaian itu tentu saja terjadi atas perintah Jenderal Soeharto. Kekejamannya inilah yang telah membawanya berkuasa 3 tahun, serta menjalankan kekuasaannya dengan tangan besi, dan merebut kekuasaan negara dari tangan Presiden konsitusinoal, Sukarno, lewat apa yang dikenal dengan SUPERSEMAR yang penandatangannaya dipaksakan oleh 3 Jenderal. Tentu saja kelompok komunisto phobia yang ketakutan, tidak gembira dengan sikap Gus Dur tersebut, dan menentang dengan keras penyelidikan holokaus 1965/ 1966. Memang sudah sulit bagi kita mengharapkan Soeharto bisa menjawab pertanyaan  dengasn cara bagaimana ia memeritahkan pembantaian besar-besaran, dan dengan cara bagaimana pula ia merebut kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno, mengingat kesehatan otaknya menurut keterangan dokter pribadinya, sudah mengalami kerusakan permanen, artinya tidak bisa sembuh lagi. Saya kutipkan kesaksian Kol. A Latief, mantan Komandan Brigif I Kodam V/ Jaya, yang pernah kumpul 1 blok dengan saya di Salemba dalam blok isolasi selama 4 tahun, ia mengatakan bahwa Jenderal Soeharto kakinya ada di dua perahu, yaitu perahu Dewan Jenderal dan perahu G30S.
Tiga hari sebelum gerakan dimuali, Latief melapor kepada Soeharto mengenai rencana gerakan, bahkan yang terakhir hanya 4 jam sebelum gerakan dimulai. Kalau Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD tidak setuju gerakan itu, tentu sudah dicegahnya, karena ia punya pasukan cukup untuk memukul. Tapi nyatanya, ia tidak bertindak apa-apa. Artinya, Soeharto mempunyai kepentingan G30S dari Soeharto, tapi bagi Soeharto sebagai pijakan melaksanakan grand strateginya setelah KSAD Letjen A. Yani yang rivalnya diculik dan dibunuh oleh G30S.
1 Oktober 1965 pagi, segera setelah meletusnya G30s yang 4 jam sebelumnya sudah disampaikan oleh Kol. Latief kepada Mayor Jenderal Soeharto yang waktu itu Panglima KOSTRAD, Soeharto langsung mengambil alih sendiri pimpinan Angkatan Darat setelah mengetahui Paglima Agnaktan Darat Letnan Jenderal          A. Yani diculik dan dibunuh oleh G30S. Soeharto sama sekali tidak berusaha mencari Presiden/ Panglima Tertinggi untuk melaporkan kejadian ini, malahan ia bertindak sendiri mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Padahal Presiden pada tanggal 1 Oktober itu sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, setelah mengetayui kejadian yang sama yang dilaporkan oleh pihak G30S kepadanya, segera mengumumkan mengambil alih untuk sementara pimpinan AD dan menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra sebagai care-taker Panglima AD. Ini adalah tindakan insubordinasi awal yang dilakukan oleh Soeharto terhadap Panglima Tertingginya. Atas tindakan insubordinasi ini. Presiden/ Panglima Teringgi tidak memberikan sanksi apa-apa kepada Soeharto, bahkan menugasinya untuk menanggulangi pemulihan keamanan dan ketertiban yang terganggu oleh adanya G30S. sementara tanggal 1 Oktober pagi itu juga, setelah Presiden menerima laporan dari Brigadir Jenderal Suparjo, komandan sayap militer G30S, tentang tindakan yang telah diambilnya yaitu menangkap para Jenderal yang dituduhnya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno, dan melaporkan juga tewasnya Jenderal Yani dalam penangkapan itu, Presiden langsung memerintahkan supaya semua operasi militer dihentikan, yang langsung ditaati.
Pasukan G30S seluruhnya ditarik dari pos-pos yang sudah ditempatinya. Untung meninggalkan Jakarta ke Jawa Tengah dan Latief mundur kepinggiran Jakarta. semua kegiatan dihentikan, yang berarti hancurnya G30S, yang beroperasi tidak lebih dari sehari. Jadi, yang menghancurkan G30S sejak awalnya, bukanlah Soeharto (karena memang pasukannya sendiri), melainkan Presiden Soekarno. Soeharto hanya menindak lanjuti dengan melakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang komunis dan yang dituduh komunis, dan membunuh 3 juta orang seperti yang diakui oleh Sarwo Edhie, komandan RPKAD (sekarang : KOPASUS).
Untuk melaksanakan tugas pemulihan keamanan dan ketertiban yang ditugasi Presiden kepada Soeharto, dibentuklah apa yang dinamakan “Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dari Pusat sampai ketingkat KODAM, dengan segala lembaganya antara lain Team Pemeriksa dan Daerah. Lembaga Kompkamtib dan alat-alat pendukungnya, itulah yang bergerak menyandang kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Tapi setelah 6 bulan, ternyata Kopkamtib tidak menjalankan tugasnya memulihkan keamanan dan ketertiban, bahkan ketegangan meluas sampai ke daerah-daerah di mana terjadi pembunuhan besar besaran. Demonstrasi oleh berbagai Kesatuan Aksi makin menjadi-jadi di bawah lindungan AD, dengan mendiskreditkan Kepala Negara. Tapi menurut Dr. Subandrio, sebetulnya sejak tanggal 2 Oktober 1965, Soeharto dengan didampingi Yoga Sugama dan anggota-anggota kelompok bayangannya di Kostrad, mendatangi Bung karno di Istana Bogor. Soeharto dan rombongan yang berseragam doreng dan bersenjata, masuk Istana. Dalam keadaan biasa, masuk Istana tidak boleh membawa senjata. Disitu Soeharto menolak pengangkatan Pranoto menjadi Care-Taker KSAD, sambil menekan Presiden supaya memberikan Surat Kuasa kepadanya untuk tugas memulihkan keamanan. Dikemudian hari surat kuasa itu tidak diakui suharto, sehingga tidakpernah dicatat dalam sejarah orba. Sebelum meninggalkan Istana, Soeharto minta kepada Presiden supaya jangan meninggalkan Istana Bogor dengan alasan keamanan. Sejak itu hakekatnya Presiden sudah ditahan oleh Soeharto.
Esoknya, Wakil PM-II Dr. J. Leimena mendatangi Soeharto di Kostrad, mengingatkan supaya jangan bersikap keras terhadap Bung Karno. Soeharto menjawab supaya Pak Leimena mengurus urusannya sendiri saja. “Saya yang kuasa sekarang”, kata Soeharto. Wkail PM-III Dr. Chaerul Saleh yang datang berikutnya untuk maksud yang sama, dijawab oleh Soeharto : “Pak Chaerul jangan ikut campur”, Pak Chaerul kemudian ditahan dan meninggal di tahanan.
Puncak kerusuhan yang sengaja diciptakan, ialah pada 11 Maret 1966, di aman sidang Kabinet sedang berlangsung dengan tiba-tiba Istana dikepung tentara. Tentara itu mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian mahasiswa atau pakaian rakyat kebanyakan. Penagngung jawab keamanan Istana menghawatirkan adanya usaha hendak menangkap Bung Karno bersama menteri-menterinya. Dalam sidang Kabinet ini, satu-satunya Menteri yang tidak hadir hanyalah Menteri/ Panglima AD Mayor Jenderal Soeharto, yang katanya sedang sakit pilek. Oleh adanya kekhawatiran ini, ajudan Presiden memberikan sebuah memo kepada Presiden yang segera menghentikan sidang menyerahkan kepada Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena untuk melanjutkannya. Bung Karno sendiri dengan diikuti Wakil Perdana Menteri I/ Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio dan Wakil Perdana Menteri III Dr. Chairul Saleh meninggalkan Istana menuju helikopter yang tersedia di depan Istana dan terus menyingkir ke Istana Bogor. Belakangan di ketahui bahwwa tentara yang mengepung Istana ditugaskan oleh Soeharto untuk menangkap Dr. Subandrio. Setelah Bung karno meninggalkan Sidang Kabinet, siang itu juga 3 orang Jenderal yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Mayor Jenderal Andi Yususf dan Brigadir Jenderal Amir Mahmud diutus oleh Soeharto yang sedang sakit pilek menyususl Presiden ke Bogor untuk basa-basinya menyampaikan permintaan maaf karena adanya pengepungan Istana. Api tugas pokok dari missi ini ialah minta kepada Presiden supaya memberikan Surat Perintah 11 Maret yang dikenal dengan SUPERSEMAR, isinya sudah dirumuskan oleh Soeharto bersama 3 Jenderal dirumahnya, sebelum missi  berangkat ke Bogor. Semuanya harus dipaksakan supaya ditandatangani oleh Presiden. Adapun isi kongkritnya ialah supaya Presiden memerintahkan kepada Menteri/ Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan ketenangan. Tapi isi SUPERSEMAR setelah terjadi tawar menawar yang alot seharian, diperluas dengan menjamin stabilitas jalannya pemerintahan dan revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan Presiden/ Pangti/ PBR/ Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan Negara RI, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR. Menurut keterangan Ibu Hartini seperti yang diceritakan Bung karno kepadanya, peristiwa penandatanganan dokumen tersebut, dilangsungkan di pavilyun Istana Bogor yang menjadi tempat kediaman Ibu Hartini, semuanya berjalan alot dan penuh ketegangan karena para Jenderal memaksakan konsep mereka seperti yang dirumuskan oleh Soeharto. Ketiga Wakil Perdana Menteri yang juga hadir, satu persatu diminta pendapatnya oleh Bung Karno sebelum mendatangani naskah tersebut.

1.   Pertama yang ditanyai ialah Dr. Leimena yang menjawab dengan “No Comment”, ik laat het helemaal aan u over.
2.   Chairul Saleh yang ditanya berikutnya menjawab : “Best is dat u zich tot God wendt, bid om Zijn goede raad.” (Sebaiknya Bapak menghadap Tuhan, mohon petun­jukNya yang baik).
3.   Terakhir Dr. Subandrio menyatakan pendapatnya : Als u deze verklaring (Ibu Hartini mengatakan “brief”) tekent dan valt u in a trap. Maksudnya, jika surat ini ditanda tangani, Bapak akan masuk perangkap.

Betul apa yang dikatakan oleh subandrio. Soeharto menganggap SUPERSEMAR memberikan landasan kekuasaan yang dapat digunakannya untuk mengkonsolidasi situasi pada saat itu yang menguntungkan baginya. Maka pada tengah malam tanggal 11 Maret setelah para Jenderal utusannya menyerahkan Surat Perintah itu kepadanya di Kostrad, ia langsung membuat Surat Keputusan a.n. Presiden yang disebutnya Surat Keputusan Presiden tanggal 12 Maret 1966 yag ditandatanganinya sendiri sebagai pengemban SUPERSEMAR a.n. Presiden tentang pembubaran PKI termasuk semua organisasi yang berazas/ berlindung dan beranaung di bawah PKI, dari tingkat pusat sampai daerah. Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Soeharto itu, tentu saja bertentangan dengan kebijaksanaan politik Presiden Soekarno, karenanya tidak bisa digunakan untuk mengambil kebijaksanaan politik yang berdampak luas dan dalam luas dan dalam, seperti yang dilakukan Soeharto. SUPERSEMAR hanya memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam bidang teknis pengamanan dan penerbitan, bukan dalam bidang kebijaksanaan politik. Oleh karena itu tanggal 13 Maret 1966, Presiden mengirimkan surat teguran kepadanya, karena tindakannya sudah Presiden mengirimkan surat teguran kepadanya, karena tindakannya sudah melampaui wewenang yang diberikan kepadanya. Surat teguran itu dibawa oleh Wakil PM II Dr. Leimena, dikawal oleh Brigjen Hartono, Komandan KKO (Marinir) Angkatan Laut.
Jawaban Soeharto yang diberikannya secara lisan kepada Wakil PM II dan minta disampaikan kepada Bung Karno, bahwa tindakan tersebut menjadi tanggung jawabnya sendiri secara pribadi. Karena teguran pertama  tidak diindahkan, maka disusul lagi dengan terguran kedua tanggal 14 Maret 1966 yang juga tidak diperdulikan oleh Soeharto. Malah pada tanggal 18 Maret 1966, dengan meng-atas-namakan Presiden/ Pangti? Mandataris MPRS? PBR dikeluarkan apa yang disebutnya sebagai “Pengumuman Presiden” no. 5 yang ditandatanganinya sendiri, mengenai tindakan pengamanan terhadap 15 Menteri, yaitu :
1.  Dr. Subandrio
2.  Dr. Cairul Saleh
3.  Ir. Setiadi Reksoprodjo
4.  Ir. Setiadi Reksoprodjo
5.  Soemarjo
6.  Ir. Sarachman (orangnya kabur tidak tertangkap)
7.  Dr. Jusuf Muda Dalam
8.  Armunanto
9.  Sutomo Martopradoto
10.        Astrawinata, SH
11.        May. Jen. TNI Achmadi
12.        Drs. Moch Achadi
13.        Let. Kol. Inf. Imam Syafi-ie
14.        J. Tumakaka
15.        May. Jen. TNI Dr. Sumarno.
Tindakan ini diambil dengan alasan untuk pengamanan penyelenggaraan pemerintahan, serta terjaminnya keamanan, ketenangan, kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi, terjaminnya keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS/ Pemimpin Besar Revolusi dan untuk keutuhan bangsa dan Negara RI, dengan maksud agar supaya menteri-menteri tersebut jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali dan jangan pula tuntutan rakyat itu terlepas dari itikad baiknya. dalam pengumuman itu ditegaskan bahwa menteri-menteri hanya pembantu belaka dari Presiden dan tidak merupakan bentuk kolektif pemerintahan, karena pemerintah berdasarkan pasal 4 UUD 1945, hanya berada ditangan Presiden. Tafsiran ini memuakkan karena dimaksudkan hanya akan membuka jalan kearah coup d’etat, karena 15 Menteri pembantu Presiden disapu bersih tanpa pengetahuan apalagi persetujuan Presiden. Disini jelas bahwa SUPERSEMAR dilaksanakan bukan untuk menjamin pengamanan penyelengaraan pemerintahan, tapi untuk melemahkan pimpinan Presiden, karena pembantu-pembantu utamanya disikat habis.
Disamping itu masih ada 3 menteri yang lain, tokoh-tokoh PKI yaitu Aidit, Lukman (kedua-duanya Menteri Koordinator) dan Nyoto (Menteri Negara) bukan saja ditangkap tapi dibunuh tanpa proses pengadilan. Seorang lagi yang lain ialah Omar Dhani, Menteri/ Panglima Angkatan Udara ditangkap dan dihukum mati, tapi kemudian mendapat grasi dan sekarang bebas juga Jusuf Muda Dalam, Menteri Bank Sentral dihukum mati. Dengan menyapu bersih 19 Menteri dan hanya Omar Dhani dan Menteri Negara, Oei Tjoe Tat dan Jusuf Muda dalam yang diproses secara hukum, tanpa persetujuan Presiden, bukankah itu satu tindakan coup d’etat?
Layaklah diajukan pertanyaan : Apakah dengan menagkap 19 menteri tanpa pengetahuan dan persetujuan Presiden, bukan tindakan coup d’etat ? Karena khawatir Presiden akan menarik kemabali SUPERSEMAR karena pelaksanaannya sudah diselewengkan dan tidak pernah dilaporkan kepada Presiden, maka soeharto minta kepada MPRS yang bersidang dari tanggal 20 Juni s/d Juli 1966 supaya mengambil keputusan yang memperkuat kebijaksanaan Presiden yang tertuang dalam SUPERSEMAR (TAP no. IX/ MPRS/ 1966 tertanggal 21 Juni) dengan meningkatkannya menjadi TAP MPRS, secara konstitusional Presiden tidak bisa mencabutnya, karena pencabutan dianggap pengingkaran terahdap TAP MPRS.
Sepintas lalu, rekayasa politik ini dengan menggunakan sarana hukum, khususnya hukum konstitusi, memang hebat. Tapi coba teliti dengan seksama makna TAP MPRS no. IX,  akan segera terlihat bahwa menyimpang dari inti pokok SUPERSEMAR yang berbunyi sebagai berikut (saya kutip) :
1.     Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pimpinan Besar Revolusi/ Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pimpinan Besar Revolusi.
2.     Mengadakan Koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-panglima Angkatan lain sebaik-baiknya.
3.     Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut diatas.

Sekarang saya persilahkan membandingkan dan meneliti sesudah SUPERSEMAR itu menjadi TAP MPRS no. IX, saya kutip selengkapnya.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia No. IX/ MPRS/ 1966
Tentang
Surat Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Pimpinan Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia.
Majelis Permusywaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia
Menimbang
a. Bahwa Surat Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tanggal 11 Maret 1966 kepada Letnan Jenderal SOEHARTO, Menteri/ Panglima Angkatan Darat, Merupakan suatu upaya khusus untuk mengatasi ancaman bahaya terhadap keselamatan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, kewibawaan Pimpinan Revolusi serta terhadap keutuhan Bangsa dan Negara;
b. Bahwa upaya khusus tersebut diterima secara positif oleh Rakyat, karena mencerminkan rasa keadilan menurut suara hati nuraninya dan telah terbukti bermanfaat dalam  rangka usaha memenuhi Tri Tuntutan Rakyat;
c. Bahwa upaya khusus itu, yang telah diterima pula oleh dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong secara bulat, adalah sesuai dengan hukum dasar yang dimaksudkan oleh Undang-undang Dasar 1945 dan kegunaannya untuk pengamanan kebijaksanaan pengembalian kepada pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 secara murni;
d. Bahwa untuk kepentingan usaha penyempurnaan lembaga-lembaga/ aparatur negara sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, Surat Perintah tersebut masih perlu diperlakukan.
Mengingat :
Pasal I ayat (2) dan Pasal 2f ayat (3) Undang-undang Dasar 1945,
Menetapkan :
Pertama :                                                                              Menerima baik dan memperkuat kebijaksanaan Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Pimpinan Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia yang dituangkan dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Letnan Jenderal T.N.I. SOEHARTO. Menteri Panglima Angkatan Darat dan meningkatkannya menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara;
Kedua : Ketetapan tersebut pada sub PERTAMA mempunyai daya laku sampai terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum. Waktu Pemilihan Umum tersebut ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara;
Ketiga : Mempercayakan kepada LETNAN JENDERAL T.N.I. SOEHARTO Menteri Panglima Angkatan Darat, pemegang Ketetapan tersebut, untuk memikul tanggung jawab wewenang yang terkandung didalamnya dengan penuh kebijaksanaan, demi pengamanan usaha-usaha mencapai tujuan Revolusi dan demi kebulatan serta kesatuan bangsa-bangsa dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat, berdasarkan Undang-undang Dasar 194
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Juni 1966
Majelis Permusayawaratan Rakayat Sementera Republik Indonesia

Care-taker/ ketua Pelaksana Pimpinan Harian
ttd
(May Jen. Wilujo Puspo Judo), Wakil Ketua
(Osa Maliki), Wakil Ketua                                                (H.M. Subchan Z.E), Wakil Ketua

Dengan mudah dapat dikatakan bahwa setelah SUPERSEMAR mendapat baju kehormatan dari MPRS, maka yang dilaksanakan bukan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan dan Revolusi, melainkan menghancurkan jalannya revolusi dan akhirnya menggulingkan Bung Karno, menahannya dan melucuti seluruh hak politiknya, sampai meninggal.
      Menurut A. dahlan Ranoewihardjo, SH, dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta, dilihat dari segi hukum, Jenderal Soeharto sama sekali tidak berwenang mengganti pemberi tugas kepadanya (dengan SUPERSEMAR) yaitu Presiden Soekarno, karena ia hanya penerima tugas (last hebber). Jadi, TAP MPRS no. IX/ 196 adalah tidak sah. Siapapun akan terheran-heran bahwa Surat Perintah yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno bisa-bisanya digunakan untuk menangkap Bung Karno sendiri. Dengan sepotong anak kalimat yang terdapat dalam SUPERSEMAR butir 1 “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu” Soeharto dengan Orde Barunya berhasil menjungkir-balik tatanan politik dan kemasyarakatan Indonesia, didukung oleh politik kekuatasaan yang represif, yang melakukan kekejaman di luar batas prikemanusiaan. Siapa yang menentang, dengan mudah dicap G30S dan nasib orang yang seperti itu menjadi orang yang vogelvrij verklaart, siapa saja boleh menembaknya. Inilah rezim dengan kekuasaan pemerintah yang menakutkan, berjalan 30 tahun, sesudah mana kita disuruh menjadi saksi tercabik-cabiknya bansa karena pertentangan politik, sosial, ekonomi dan SARA, yang belum bisa dilerai sampai sekarang.
Dari uraian diatas bisa diketahui bahwa sejak 1 Oktober 1965 telah terjadi perbuatan melanggar perintah atasan dari Jenderal Soeharto, dan dilanjutkan dengan membuat rekayasa politik, menggunakan sarana-sarana hukum konstitusi dengan penafsiran yang semena-mena. Semuanya hanya menunjukkan rangkaian perbuatan melanggar hukum, menuju kearah coup d’etat yang lengkap.
Dalam situasi yang sudah sangat sulit oleh tekanan-tekanan yang makin brutal, Presiden Soekarno pada tanggal 20 Pebruari 1967 membuat pengumuman yang intinya menyerahkan kekuasaan kepada pengemban SUPERSEMAR, meskipun masih disyaratkan supaya selalu melaporkan kepada Presiden pelaksanaan penyerahan kekuasan itu. Waktu itu Bung Karno merasakan kesehatannya makin mundur, ginjalnya berfungsi hanya 25%-50%, dengan berbagai komplikasi penyakit lainnya, maka beliau menawarkan kepada Soeharto supaya lebih leluasa melaksanakan keinginannya, Bung karno akan berobat keluar negeri, tapi ditolak oleh Soeharto. Tentu saja ditolak, karena selanjutnya ialah menahan Bung Karno sendiri.
Rencana politik menjatuhkan Bung Karno secara total lewat cara yang dianggap konstitusional, tercapai dalam Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 sampai 12 Maret 1967, yang ditutup dengan keluarnya TAP no. XXXIII/ MPRS/ 1967, yang memberhentikan dr. Ir. Soekarno sebagai Presiden dan mencabut semua hak-hak politiknya, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden. Sejak berlakunya ketetapan tersebut, Mandat MPRS kepada Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan Negeri yang diatur dalam UUD 1945, ditarik kembali selanjutnya menetapkan mengangkat Jenderal Soeharto, pengemban TAP MPRS IX/ 1966 (SUPERSEMAR) sebagai pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum. Inilah rangkaian pengambilan kekuasaan yang dilakukan dengan penuh kesabaran tapi terukur, membius rakyat seolah-olah segala sesuatunya berjalan secara benar dan wajar. Cara inilah yang disebut oleh para peneliti Barat sebagai “Creeping coup d’etat”. Pengambilan kekuasaan dengan merangkak.
Geoffrey B. Robinson, Boston, USA, dalam bukunya “Some Arguments Conserning U.S. Influence and complicity in Indonesia Coup of October, 1, 1956” mengatakna bahwa coup d’etat di Indonesia dilakukan oleh Angkatan Darat yang disponsori, diorganisasi dan di biayai oleh A.S buku ini sudah terbit edisi Indonesianya dengan judul “Kudeta Angkatan Darat”. Ada orang rajin menghitung, ia mencatat di luar negeri sudah terbit sedikitnya 110 buku dan tulisan mengenai G30S yang dikerjakan oleh orang-orang non-Indonesia. Di Indonesia sendiri entahlah berapa buku yang sejenis sudah diterbitkan, karya orang Indonesia.
Praktisi hukum senior dari Gani Djemat & Partners di Jakarta, Partono Karnen, SH, ketidak membicarakan masalah G30S mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang diambil Jenderal Soeharto sejak 1 Oktober 1965 sampai lengsernya 32 tahun kemudian, tidak bisa dikatakan sesuai dengan hukum, terutama hukum konstitusi. Tindakan-tindakannya melanggar hukum, dan oleh karena itu segala apa yang dilakukannya termasuk rekayasa politik yang menggunakan hukum konstitusi sebagai sarananya, adalah tidak sah. Karena tindakan-tindakannya menyimpang dari isi dan makna SUPERSEMAR, termasuk sidang-sidang MPRS yang diselenggarakannya, adalah tidak sah. Apabila alur logika ini ditarik terus secara kosekwen, maka semua tindakan politik yang dikatakan berdasar hukum diambil Soeharto beserta Orde Barunya, tidak sah pula.
Bahkan kita Partono, SH, lengsernya Presiden Soeharto yang kemudian diganti oleh Wakil Presiden yang ditunjuknya sendiri, bukan oleh anggota-anggota MPR dalam sidang MPR, dan dilantik di Istana, bukan digedung DPR/ MPR, merupakan perselingkuhan dalam menafsirkan pasal 8 UUD 1945.
Sesudah  MPR hasil Pemilihan Umum 1999 tersusun, barulah kita kembali menjalankan hukum konstitusi sesuai dengan maknanya, kata Parnoto Karnen, SH.
Parnoto memang tidak tegas mengatakan bahwa Jenderal Soeharto diangkat menjadi Presiden 5 periode berturut-turut, berdasarkan pemahaman diatas tidak sah, meskipun sudah lewat Pemilu ke Pemilu, tapi mungkin memang itulah yang dimaksudkannya.
     Tapi ada jalan pintas yang bisa mengurai simpul yang kusut ini, dan boleh dipertimbangkan, yaitu teorinya Aidit. D.N. Aidit pernah mengatakan kepada saya yang kebetulan bertemu di Paris, sesudah ia bertemu dan berdiskusi dengan 6 orang tokoh komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris ketika terjadi coup d’etat Kolonel Boumedienne terhadap Presiden ben Bella 19 Juni 1965. Diskusi berlangsung di kantor organ Partai Komunis Perancis le Humanite, yang tentunya juga dihadiri oleh tokoh-tokoh Partai Komunis Perancis. Katanya : “Jika satu coup d’etat didukung oleh sedikitnya 30% rakyat, maka coup d’etat itu bisa bermutasi menjadi revolusi yang didukung oleh rakyat, maka posisinya berubah menjadi revolusi. Apakah Aidit mengajarkan juga teori ini kepada Soeharto, entahlah ! Yang jelas, keduanya saling kenal. Jenderal Soeharto menganggap kupnya terhadap Bung Karno didukung rakkyat meskipun dengan todongan bayonet. Oleh karena itu, jika tindakannya dianggap coup, maka coup itupun sah.
Peristiwa yang saya uraikan, rasanya bukanlah suatu kebanggan. Bahkan kalau kita menerawang jauh ke belakang, akan tampak begitu banyak orang Indonesia yang tidak bisa lagi dibanggakan sebagai berperadaban tinggi. Saling bunuh adalah cirinya yang paling menonjol sampai sekarang. Rasa saling tidak mempercayai satu dengan yang lain, dipertontonkan secara telanjang. Padahal suatu bangsa, sebetulnya dibentuk atas dasar saling percaya antara penganut berbagai ideologi, agama, pemikiran, etnis dan latar belakang sejarah. Sampai-sampai keinginan Presiden Abdurrahman Wahid hendak mencabut TAP MPRS no. XXV/ 1966 mengenai larangan Marxisme, serta maksud memanggil kembali dari luar negeri warga negara Indonesia yang di era Soeharto dicekal tidak boleh kembali ke Indonesia, menimbulkan reaksi ketakutan luar biasa pada pihak yang tangannya sudah berlumuran darah karena membunuh 3 juta orang yang dituduh komunis. Gagasan itu mereka anggap sebagai usaha membangkitkan dendam kesumat kaum Marxis-Komunis untuk menghancurkan umat Islam dan TNI AD yang dianggap telah melakukan pembunuhan massal terhadap mereka. (Baca boeklet : Abdul Qadir Djaelani, 17 kebijaksanaan dan 9 pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang membawa malapetaka bangsa Indonesia, diterbitkan oleh Komite Kawaspadaan Nasional Muslimin Indonesia, November 2000).
Lalu teringat, hukum apa yang mereka pakai untuk membunuh 3 juta orang yang tidak pernah membunuh? Dalam Islam ada apa yang disebut Hukum Qisos, yaitu hutang jiwa dibayar dengan jiwa. Jadi, orang yang membunuh boleh dibunuh. Tapi 3 juta yang dibunuh dalam peristiwa G30S, bukanlah orang-orang yang pernah membunuh. Pembunuhan itupun tidak terjadi dalam peperangan, karena waktu itu memang tidak ada perang. Pada waktu itu tidak ada pertolongan Tuhan kepada orang-orang yang dianiaya begitu kejam, sehingga ada orang yang mengeluh. Tapi kita menganut falsafah Pancasila yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu saja menolak dekrit filosof Jerman Friedrich Nietzsche (yang atheis) yang pernah mengatakan Gott is tot-Tuhan telah meninggal.
Rasanya saya sudah mengemukakan cuplikan kejadian yang diperlukan, berlangsung 32 tahun di era Soeharto. Ditahun 1966, Bung Karno mengingatkan kepada kita supaya jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, justru pada saat sejarah kita sedang diobrak-abrik oleh perluru dan bayonetnya Soeharto. Waktu itulah Soeharto sewaktu hendak membunuh seekor tikus yang makan sebutir dua butir gabah yang disimpan di lumbung, menempuh jalan membakar lumbung. Entah apa sebutan yang tepat untuk orang yang seperti itu.
Makna yang pokok dari peringatan Bung Karno supaya kita jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, ialah supaya kita melihat kebelakang dengan pandangan jernih; yaitu sebelum dan sesudah kemerdekaan dan akan terbukti bahwa persatuan dan kesatuan adalah syarat mutlak bagi tercapainya cita-cita. Perpecahan hanya membawa kepada keruntuhan. Terbukti, setelah holocaust 1965/ 1966, muncullah masalah sosial politik yang panas dan meningkatkan pertentangan. Tentu saja pengalaman sejarah masa silam, sangat berguna untuk kaca benggala masa depan, karena itu jangan sekali-kali ditinggalkan. Tapi, kita juga jangan melihat ke masa depan dengan mata buta, jangan berdiri diatas vacuum atau kekosongan yang menimbulkan kebingungan, sehingga berubah menjadi bentuk amuk, seperti kera yang terjepit di dalam kegelapan, kata Bung Karno.
Abraham Lincoln, Presiden A.S yang ke-16,  pernah mengatakan : “one cannot escape history” – seseorang tidak bisa melepaskan diri dari sejarah, tapi kemudian dipertegas oleh Bung Karno dengan mengatakan : “never leave history” jangan sekali amuk, untuk membangun national dignity. Apa yang kita miliki sekarang adalah akumulasi dari semua hasil perjuangan di masa lampau. Itulah sejarah kita dan jangan sekali-kali dilupakan.
Manado, 10 Februari 2001                            AKDP
*****

Subowo bin Sukaris
HASTA MITRA Updated at: 11:57 AM