Analisis operasi militer G30S (Gerakan 30 Sept. 1965)


Analisis operasi militer G30S (Gerakan 30 Sept. 1965)


Satu-satunya sumber yang valid topik di atas ialah makalah yang berisi analisis perwira tinggi Supardjo, salah seorang komandan gerakan 30 September yang tatkala itu menjadi panglima operasi tempur mengganyang Malaysia berkedudukan di Kalimantan. Pada hari H operasi dijalankan Supardjo turut andil dan terjun langsung memimpin gerakan.

      Menurut beliau yang mengupas kegagalan operasi G30 S dalam makalahnya, dari ketiga pimpinan operasi militer G30S, yakni Untung, Syam, dan Aidit, ketiganya sedang berada dalam kondisi stress berat dan tidak siap untuk memimpin sebuah gerakan militer. Dua yang disebut terakhir kenyataannya bukanlah orang militer aktif, walaupun memiliki pengalaman militer langsung di masa merebut kemerdekaan. 
      Perwira menengah Untung sendiri sebagai militer aktif dan memiliki kemampuan memimpin sebuah operasi militer, ternyata kondisi fisiknya sedang kelelahan, tidak sempat istirahat selama tiga hari tiga malam tatkala memimpin gerakan militer pada dinihari 30 September 1965.
      Kelemahan ketiga pucuk pimpinan operasi militer itu yang terjadi pada hari H juga bersumber dari kedudukan mereka yang bersifat klandestin. Syam dan Aidit berasal dari BC, biro khusus PKI yang sifatnya rahasia, Untung sebagai anggota gerakan rahasia adalah komandan paspampres Cakrabirawa yang sangat dekat dengan Presiden Sukarno. 
      Sebuah operasi rahasia yang dipimpin secara rahasia oleh orang-orang misterius tentu saja memiliki kelemahan mencolok dalam mengadakan sebuah operasi rahasia militer. Misalnya dalam segi perbekalan senjata, logistik transportasi, dan bahan makanan. Karena segala sesuatu harus dilakukan tertutup, padahal gerakan 30 September bukanlah operasi yang tujuannya tertutup, artinya setelah operasi dilakukan selanjutnya para pelaksananya tidak menghilang, lenyap, melainkan justru tampil dengan gagah di hadapan publik, waktu itu melalui sarana radio RRI.
      Skenario pokok dari ketiga pimpinan operasi yang tengah dijalankan adalah operasi militer itu pada awalnya tampak di hadapan publik sebagai gerakan intern dalam Angkatan Darat. Semua yang terlibat dan dilibatkan semata-mata berasal dari AD. 
      Pada kenyataannya PKI yang diwakili secara rahasia oleh Syam dan Aidit, dan tentu tanpa persetujuan Politbiro, telah terlibat terlalu jauh dalam gerakan awal 30 September. Tampaknya inilah faktor yang dimanfaatkan lawan yang kemudian muncul yakni Suharto-Nasution, untuk mengobrak-abrik PKI. 
      Sebuah operasi yang tertutup dan kemudian terbuka lebar merupakan hal sebenarnya tujuan operasi militer 30 September, mereka dari pihak AD yang bersekongkol diam-diam dengan PKI justru akan tampil terang-terangan di muka publik setelah keberhasilah dalam mengadakan operasi tersebut. 
       Sebagai catatan dalam operasi dadakan menangkap tujuh perwira tinggi itu telah gagal menangkap seorang perwira tinggi Nasution. Inilah salah satu titik lemah yang tidak dapat diatasi secara tegas oleh ketiga pemimpin operasi militer G30S. Pada akhirnya titik lemah inilah yang memukul balik kelompok Untung cs dengan mendirikan pusat komando AD yang baru dipelopori Nato (Nasutian-Suharto) yang tidak tunduk lagi kepada PYM panglima tertinggi angkatan bersenjata Presiden Sukarno. 
      Nato berjalan sendiri tanpa peduli pada perintah Presiden Sukarno, yang berusaha mengadakan perdamaian antara kelompok gerakan 30 September dan kelompok Nasution-Suharto yang mulai saling menyerang satu sama lain.
      Sifat klandestin operasi G30S itu pula yang memaksa segala sesuatu persiapan yang dilakukan secara mendadak dan dalam waktu singkat sebelum hari H operasi militer dijalankan. Menurut perwira tinggi Supardjo untuk sebuah operasi militer rahasia yang kemudian diblow-up ke hadapan publik dari segi militer membutuhkan kemampuan khusus dari sosok seorang pimpinan yang memperhitungkan semua segi, dan salah satunya dalam kondisi kritis mampu membuat keputusan yang cepat, tepat, dan tegas. 
      Semua itu tidak terdapat pada diri ketiga pemimpin operasi Gerakan Tigapuluh September. 
       Pada akhir kata dalam menuliskan analisisnya yang berisi analisa kejadian tiga hari tiga malam (29-30 September, dan 1 Oktober 1965) maksud dan tujuan dari perwira tinggi Supardjo ialah semua yang diungkapkannya itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi kawan pimpinan PKI di masa depan.
*****
Subowo bin Sukaris
HASTA MITRA Updated at: 9:34 AM